Sejarah dan Budaya Thrift Shop
- Auliya Luthfiani
- Jun 18, 2021
- 3 min read
Istilah Thrift shop tengah ramai di perbincangkan dikalangan milenials saat ini. Banyak remaja ABG (anak baru gede) yang lebih memilih belanja barang bekas ketimbang barang baru, tetapi tidak hanya anak ABG yang gemar berbelanja barang second banyak pula orang dewasa yang melakukan thrift shop atau belanja barang bekas. Dengan perputaran tren fashion dari tahun ke tahun, perburuan pakaian bekas pun menjadi pilihan masyarakat untuk tetap dapat mengikuti trendfashion. Apa sih thrift shop sebenarnya dan dari mana asal mula thrift shop ini mucul?

Mengutip pada laman USS Feed, secara bahasa Thrift sendiri diambil dari kata thrive yang berarti berkembang atau maju. Sedangkan kata thrifty dapat diartikan sebagai cara menggunakan uang dan barang lainnya secara baik dan efisien. Secara terminologi, thrift shop berarti kegiatan membeli barang bekas. Menelusuri sejarah thrift shop yang ditulis oleh VOI ini mulai terbangun di rentang 1760-1840an. Revolusi industri abad ke-19 memperkenalkan mass-production of clothing yang mengubah cara pandang orang-orang tentang dunia fashion. Saat itu pakaian adalah barang yang sangat murah. Orang-orang akan membuang pakaian yang telah mereka pakai.
Perspektif pakaian sebagai barang disposable atau sekali pakai itu memancing tumbuhnya perilaku penggunaan pakaian bekas yang masih sangat layak pakai. Perilaku itu berkembang dan meluas sebagai budaya di berbagai negara dunia. Di Inggris, tren pakaian bekas banyak digunakan di era 1980an dan 1990an. Di Amerika Serikat (AS) sendiri sejarahnya thrift shop sangat kompleks. Sebelum abad ke-19, orang-orang tak terbiasa menjual pakaian mereka. Sejarawan, Jennifer Le Zotte, penulis From Goodwill to Grunge: A History of Secondhand Styles and Alternative Economies menjelaskan, tak ada barang yang terbuang percuma sebelum era thrift shop.
"Jika Anda memiliki gaun dan menjadi usang, Anda akan merobeknya dan membuat pinafore untuk putri Anda. Dan ketika gaun itu hancur, Anda akan merobeknya dan menjejali kursi Anda,” tulisnya.
Di Amerika era thrift shop dimulai di akhir abad ke-19. Lonjakan historis pendatang baru terjadi selama gelombang imigrasi terbesar. Revolusi industri memperkenalkan produksi massal pakaian. Harga pakaian baru semakin terjangkau dan banyak orang menganggap pakaian adalah barang sekali pakai. Seiring pertumbuhan populasi perkotaan, menyebabkan lebih banyak harta benda yang dibuang. Selain sistem pengelolaan limbah yang lebih baik, pegadaian dan bahan bekas bermunculan selama periode ini sebagai upaya menemukan kegunaan baru. Namun ada stigma yang melekat dari pemakaian baju bekas. Bukan hanya barang itu sendiri yang merupakan pertanda kekurangan uang, tetapi juga ada bias terhadap orang yang menjualnya. Pakaian bekas sering tersedia dari gerobak dorong yang sebagian besar dimulai oleh imigran Yahudi. Kala itu, pilihan profesi imigran Yahudi amat dibatasi oleh anti-Semitisme. Prasangka itu menular ke barang dagangan mereka.

Di Indonesia, budaya thrift shop juga berkembang. Budaya itu meluas pesat ke berbagai daerah. Bahkan thrift shop memiliki sebutan berbeda di setiap daerah. Seperti orang Bandung yang menyebutnya dengan "cimol" atau "awul-awul" bagi sebagian masyarakat di Jawa Timur. Budaya thrift shop yang umumnya bergerak di komoditi sandang terbentuk sebagai perlawanan terhadap budaya fast fashion yang konsumtif. Budaya thrift shop juga mengusung misi lingkungan untuk menekan limbah tekstil dengan konsep reuse.
Secara bisnis, usaha thrift shop awalnya berkembang di wilayah pesisir laut Indonesia. Wilayah-wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga, seperti Sumatera, Batam, Kalimantan, hingga Sulawesi menjadi pintu masuk impor pakaian bekas. Semakin lama, bisnis pakaian impor bekas ekspansi ke Pulau Jawa. Meski tidak diketahui pasti sejak kapan budaya thrift shop memasuki indonesia budaya ini tetap bertahan hingga sekarang. Pebisnis thrift shop atau pakaian bekas biasa menjual dengan embel-embel "barang impor" ketimbang melabeli dagangan mereka dengan "barang bekas". Tak seperti Inggris atau AS, di Indonesia, membeli barang bekas adalah penghinaan yang mereka lakukan terhadap gengsi mereka sendiri.
Pertumbuhan industri fesyen diikuti dengan ancaman lingkungan akibat limbah tekstil. United Nations Climate Change News memaparkan industri fesyen menyumbang 10 persen emisi gas rumah kaca yang timbul dari rantai pasokan yang panjang dan penggunaan energi dalam produksi yang intensif. Data 2018 menunjukkan industri fesyen menghasilkan 2,1 miliar ton CO2eq. Ini mewakili 4 persen emisi karbon global, di mana sebagian besar emisi diciptakan tiga negara industri besar, seperti Prancis, Jerman, dan Inggris. Sebuah riset yang dibuat oleh YouGov pada tahun 2017 menunjukkan bahwa 66% warga Indonesia pernah membuang pakaian di beberapa titik dalam setahun terakhir. Sebanyak 25% masyarakat telah membuang lebih dari sepuluh pakaian dalam setahun terakhir.
Dengan berbelanja pakaian di thrift shop, kita sudah berkontribusi mengurangi limbah tekstil karena kita menerapkan prinsip reuse atau penggunaan kembali pakaian yang masih layak pakai sehingga pakaian tersebut tidak berakhir menjadi sampah. Selain mengurangi limbah tekstil, kamu pun mengurangi pencemaran lingkungan akibat proses produksi pakaian baru.
Comments